DRAMATURGI SANDIWARA
Dede Pramayoza
A.
Fenomena Sandiwara
Sandiwara atau terkadang dinamakan pula
sebagai sandiwara kampung adalah nama sebuah seni drmatik (teater) yang
berkembang luas dalam masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat pada dekade
1960-an hingga pertengahan 1990-anperkembangan luas sandiwara pada masa itu
ditandai dengan dipergelarkannya kesenian ini secara sporadis di berbagai
tempat. Sandiwara tidak hanya sekedar tontonan atau hiburan, tetapi juga
mengambil bagian penting dalam bagian penting dalam berbagai kegiatan
masyarakat dengan lingkup nagari. Berkembangnya sandiwara sebagai “ teater
rakyat” dalam masyarakat minangkabau di Sumatra Barat itu adalah gejala yang
cukup menarik berbasis produksi di nagari-nagari membuat sandiwara berhadapan
langsung dengan randai seni teater tradisional masyarakat Minangkabau.
Kata sandiwara bukan berasal dari kata
dalam Minangkabau. Lebih jauh, kemungkinan terdapat dramaturgi khas meliputi
indikator seni peran, penyutradaraan, dan tata artistik yang diterapkan dalam
proses kreatif sandiwara, apalagi sandiwara mengidentifikasikan ciri-ciri
kebentukan yang hibrid yang menggabungkan komponen-komponen dari kategori
teater yang lazimnya dipanjang berbeda, bahkakn cendrung kontradiktif. Kontestasi
antara tradisi dan modernitas di dalam teater, sebagaimana yang tampak pada
sandiwara, dapat dilihat sebagai konsekuensi dari berbagai keterlibatan sebuah
masyarakat dengan kebudayaan modern. Sandiwara
adalah bagian dari kondisi poskolonial menjadi semacam masyarakat
Minangkabau yang dengan kata lain berpotensi menjadi semacam “drama/ teater
poskolonial” dalam masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat. Pelaberlan
sandiwara sebagai teater “tidak serius” itu mengingatkan tentang kanosiasi
dalam diskursus seni dramatik pra-Indonesia di masa kolonial.
“Teater Rakyat” sekaligus “drama
Poskolonial” di Indonesia yang pada praktiknya seringkali merupakan bentuk
hibrida dari opera melayu dan tonil dengan tambahan pengaruh-pengaruh baru atau
hibrida dari pengaruh seni dramtik yang baru sama sekali cendrung pula dianggap
sebagai “kesenian tidak serius” sehingga absen dari ranah kajian teater dan
seni-seni dramatik.
·
Riwayat Sandiwara
1.
Masa Opera Melayu dan Tonil
Perkembangan
seni dramatik di Sumatra Barat pertama kali dicatat oleh Van Kerckoff dalam
sebuah risalah yang ditulis di Payakumbuh pada Tahun 1888. Dari keterangan Van
Kerckoff disimpulkan bahwa Tonil melayu itu, yaitu pertama, masyarakat Sumatra
Barat mula berkenalan dengan rombongan yang pentas secara teratur sebagaimana
mulai berkembang di kota-kota besar lainnya. Dari Padang tonil Melayu
berkemungkinan kemudian mulai menyebar ke berbagai daerah seperti Pariaman,
Padangpanjang, Bukittinggi, Payakumbuh, dan tempat lain ditemukannya potensi
penonton serta orang-orang yang berbakat untuk menjadi pemain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar